Peraturan dan Regulasi (2)
UU No.19
tentang Hak Cipta dan UU No.36 tentang Telekomunikasi
1. UU
No.19 tentang Hak Cipta
Ketentuan Umum
Hak cipta (lambang internasional:
©, Unicode: U+00A9) adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Hak cipta berlaku pada berbagai
jenis karya seni atau karya cipta atau “ciptaan”. Ciptaan tersebut dapat
mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis
(tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar,
patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam
yurisdiksi tertentu) desain industri.
Ciptaan tentunya lahir dari yang
namanya pencipta. Pencipta itu sendiri adalah seorang atau beberapa orang
secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan
kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang
dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta,
atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang
menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut
adalah Pemegang Hak Cipta. Izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta kepada
pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya dengan
persyaratan tertentu menggunakan izin lisensi. Dalam undang-undang itu sendiri,
pengertian hak cipta adalah “hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku” (UU 19/2002 pasal 1).
Lingkup Hak Cipta
1. Hak
eksklusif
Yang dimaksud dengan “hak
eksklusif”adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak
cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta
tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Karya sinematografi dan program
komputer yang diciptakan oleh pencipta / pemegang hak cipta memiliki hak
yaitu untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya
menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial. Konsep
tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak
cipta termasuk “kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen,
mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan,
mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan
ciptaan kepada publik melalui sarana apapun”.
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta
adalah hak untuk:
- Membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual
hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik)
- Mengimpor dan mengekspor ciptaan
- Menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan
(mengadaptasi ciptaan)
- Menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum
- Menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada
orang atau pihak lain.
Hak Cipta dapat beralih atau
dialihkan
Hak cipta dapat beralih ataupun dialihkan (UU 19/2002 pasal 3 dan 4),
baik secara keseluruhan maupun sebagian yang disebabkan oleh ketentuan berikut
:
- Pewarisan
- Hibah
- Wasiat
- Perjanjian tertulis; atau
- Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak
eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002
bab V).
2. Hak ekonomi
dan hak moral
Banyak negara mengakui adanya hak
moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs
WTO (yang secara inter alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan
Konvensi Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah
atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan
tersebut.
Hak cipta di Indonesia juga
mengenal konsep “hak ekonomi” dan “hak moral”. Hak ekonomi adalah hak untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang
melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat
dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah
dialihkan[2]. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta
pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual
untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang
Hak Cipta.
Perlindungan Hak Cipta
Dalam kerangka perlindungan hak cipta,
hukum membedakan dua macam hak, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi
berhubungan dengan kepentingan ekonomi pencipta seperti hak untuk mendapatkan
pembayaran royalti atas penggunaan (pengumuman dan perbanyakan) karya cipta
yang dilindungi. Hak moral berkaitan dengan perlindungan kepentingan nama baik
dari pencipta, misalnya untuk tetap mencantumkan namanya sebagai pencipta dan
untuk tidak mengubah isi karya ciptaannya.
Hasil kemampuan intelektual dan
teknologi disebut Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HaKI), yang
merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR). Digunakannya
istilah HaKI bagi terjemahan IPR karena merupakan istilah resmi dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah menjadi
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.
Di era global keberadaan dan
perkembangan karya cipta musik dan lagu sebagai salah satu bagian yang
dilindungi hak cipta, tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan industri
teknologi (paten, know-how, dan lain-lainya). Industri ini dibentuk dari
industri cultural yang menempati posisi yang cukup diperhitungkan. Posisi
tersebut dengan mencontohkan Amerika Serikat sebagai negara Adidaya yang
mengandalkan industri musik dan lagu sebagai sumber devisa dalam perdagangan internasionalnya.
Industri ini juga merupakan salah satu komoditi yang paling potensial bagi
transaksi perdagangan internasional, karena mempunyai segmen pasar yang sangat
luas dan mampu melewati batas-batas negara. Selain itu musik dan lagu juga
dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat tanpa mengenal batas usia. Dengan
demikian musik dan lagu sebagai sebuah komoditas yang mempunyai nilai ekonomis
yang tinggi.
Perlindungan hak cipta pada umumnya
berarti bahwa penggunaan atau pemakaian dari hasil karya tertentu hanya dapat
dilakukan dengan ijin dari pemilik hak tersebut. Yang dimaksud menggunakan atau
memakai di sini adalah mengumumkan, memperbanyak ciptaan atau memberikan ijin
untuk itu.
Tidak ada Hak Cipta untuk kegiatan berikut ini :
a. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara
b. peraturan perundang-undangan
c. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah
d. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
e. keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis
lainnya.
Pembatasan Hak Cipta
Dalam Undang-undang Hak Cipta yang
berlaku di Indonesia, beberapa hal diatur sebagai dianggap tidak melanggar hak
cipta (pasal 14–18). Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak
cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu
dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk
kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu
pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya.
Pemegang Hak Cipta yang
bersangkutan diwajibkan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk
menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik
Indonesia dalam waktu yang ditentukan.
Untuk lembaga penyiaran yang
menyisipkan suatu ciptaan, lembaga penyiaran ini harus memberikan imbalan yang
layak kepada Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan apabila mengumumkan ciptaan
dari pemilik ciptaan tersebut.
Proses Pendaftaran HAKI
Di Indonesia, pendaftaran ciptaan
bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta, dan
timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau
terwujud dan bukan karena pendaftaran[2].
Namun demikian, surat pendaftaran
ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul
sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan[1]. Sesuai yang diatur pada bab IV
Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di bawah
[Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]].
Pencipta atau pemilik hak cipta
dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI. Permohonan
pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan
prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun
situs web Ditjen HKI. “Daftar Umum Ciptaan” yang mencatat ciptaan-ciptaan
terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa
dikenai biaya.
2. UU
No.36 tentang Telekomunikasi
Azas & Tujuan
Telekomunikasi
Telekomunikasi
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata. Disertai dengan
kepastian hukum,keamanan,kemitraan,etika dan kepercayaan pada diri sendiri.
Selain itu telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung
persatuan dan kesatuan bangsa. Serta meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan
pemerintahan serta meningkatkan hubungan antar bangsa.
Maka dari
itu,dengan adanya asas dan tujuan telekomunikasi ini dengan semakin majunya
teknologi komunikasi dapat membangun kesatuan dan persatuan bangsa yang
tersebar dari ratusan pulau Indonesia, sesuai dengan prinsipnya menghilangkan
keterbatasan dan jarak.
Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya
penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna baik sebagai
infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan pemerintahan, sarana
pendidikan, sarana perhubungan maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat
lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.
Asas adil dan merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan
kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan
hasil- hasilnya dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.
Asas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya
penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan kepada peraturan
perundang-undangan yang menjami kepastian hukum dan memberikan perlindungan
hukum baik bagi para investor, penyelenggara telekomunikasi, maupun kepada
pengguna telekomunikasi.
Asas kepercayaan pada diri
sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan
secara maksimal potensi sumber daya nasional secara efisien serta penguasaan
teknologi telekomunikasi, sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan
mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam menghadapi persaingan
global.
Asas kemitraan mengandung makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi
harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik, dan sinergi, dalam
penyelenggaraan telekomunikasi.
Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan telekomunikasi selalu
memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan, pembangunan, dan
pengoperasiannya.
Asas etika dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi
senantiasa dilandasi oleh semangat profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan
keterbukaan.
Dengan adanya UU
telekomunikasi di Indonesia, maka setiap penyelenggara jaringan dan
penyelenggara jasa telekomunikasi di Indonesia dapat mengerti dan memahami
semua hal yang berhubungan dengan telekomunikasi dalam bidang teknologi
informasi dimulai dari asas dan tujuan telekomunikasi, penyelenggaraan
telekomunikasi penyidikan, sangsi administrasi dan ketentuan pidana. Kalau soal
keterbatasan UU telekomunikasi sepertinya tidak ada keterbatasan sama sekali,
karena UU itu dibuat untuk meminimalkan hal-hal yang tidak kita inginkan,
ditambah lagi di jaman modern sekarang. Karena penggunaan teknologi informasi
sangat berpengaruh besar untuk negara kita,itu apa bila dilihat dari keuntungan
buat negara kita karena kita dapat secara bebas memperkenalkan kebudayaan kita
kepada negara-negara luar untuk menarik minat para turis asing. Jadi sebagai
pengguna teknologi informasi dan komunikasi harus lebih bijak dan berhati-hati
lagi dalam memanfaatkan teknologi ini dengan memperhatikan peraturan dan norma
yang ada.
Penyelenggaraan Komunikasi
Dalam RUU
Telekomunikasi disebutkan bahwa telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan
untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan
kegiatan pemerintah, serta meningkatkan hubungan antar bangsa.
Dalam rangka efektivitas pembinaan,
pemerintah melakukan koordinasi dengan instansi terkait, penyelenggara
telekomunikasi, dan mengikutsertakan peran masyarakat. Dalam posisi yang
demikian, pelaksanaan pembinaan telekomunikasi yang dilakukan Pemerintah
melibatkan peran serta masyarakat, berupa penyampaian pemikiran dan pandangan
yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian
dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan di
bidang telekomunikasi. Pelaksanaan peran serta masyarakat diselenggarakan oleh
lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut. Lembaga seperti ini
keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di bidang usaha
telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi produsen peralatan
telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan, dan jasa telekomunikasi serta
masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi. Ketentuan mengenai tata cara
peran serta masyarakat dan pembentukan lembaga masih akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Penyidikan, Sanksi
administrasi dan Ketetentuan pidana
Ada dua belas
ketentuan dalam undang-undang ini yang dapat dikenai sanksi administratif
berupa pencabutan izin, yang dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
Pengenaan sanksi adminsitrasi dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya
pemerintah dalam rangka pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan
telekomunikasi. Keduabelas alasan yang dapat dikenai sanksi administratif itu
adalah terhadap:
- Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak memberikan kontribusi dalam
pelayanan
- Penyelenggara telekomunikasi tidak memberikan catatan
atau rekaman yang diperlukan pengguna
- Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang tidak
menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk
pemenuhan kebutuhan telekomunkasi
- Penyelenggara telekomunikasi yang melakukan kegiatan
usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan
umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum
- Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang tidak
menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan
telekomunikasi lainnya
- Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak membayar biaya hak
penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosesntase pendapatan
- Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan
sendiri dan keperluan pertahanan keamanan negara yang menyambungkan
telekomunikasinya ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya
- Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan
penyiaran yang menyambungkan telekomunikasinya ke penyelenggara
telekomunikasi lainnya tetapi tidak digunakan untuk keperluan penyiaran
- Pengguna spektrum frekuensi radio dan orbit satelit
yang tidak mendapat izin dari Pemerintah
- Pengguna spektrum frekuensi radio dan orbit satelit
yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan yang saling menggaggu
- Pengguna spektrum frekuensi radio yang tidak membayar
biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan
jenis dan lebar pita frekuensi
- Pengguna orbit satelit yang tidak membayar biaya hak
penggunaan orbit satelit.
UU tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Peraturan Bank Indonesia
tentang internet banking
Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai perlindungan hukum
atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi
maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE ini juga diatur berbagai ancaman
hukuman bagi kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku
bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian
hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti
yang sah di pengadilan.
Internet Banking adalah salah satu
pelayanan jasa Bank yang memungkinkan nasabah untuk memperoleh informasi,
melakukan komunikasi dan melakukan transaksi perbankan melalui jaringan
internet, dan bukan merupakan Bank yang hanya menyelenggarakan layanan
Perbankan melalui internet, sehingga pendirian dan kegiatan Internet Only Bank
tidak diperkenankan.
Terdapat pula resiko-resiko yang
melekat pada layanan internet banking, seperti resiko strategik, resiko
reputasi, resiko operasional termasuk resiko keamanan dan resiko hukum, resiko
kredit, resiko pasar dan resiko likuiditas. Oleh sebab itu, Bank Indonesia
sebagai lembaga pengawas kegiatan perbankan di Indonesia mengeluarkan Peraturan
Bank Indonesia No. 9/15/PBI/2007 Tentang Penerapan Manajemen Resiko Dalam
Penggunaan Teknologi Informasi Pada Bank Umum agar setiap bank yang menggunakan
Teknologi Informasi khususnya internet banking dapat meminimalisir
resiko-resiko yang timbul sehubungan dengan kegiatan tersebut sehingga
mendapatkan manfaat yang maksimal dari internet banking.
Upaya yang dilakukan Bank Indonesia
untuk meminimalisir terjadinya kejahatan internet fraud di perbankan adalah
dengan dikeluarkannya serangkaian peraturan perundang-undangan, dalam bentuk
Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SE), yang
mewajibkan perbankan untuk menerapkan manajemen risiko dalam aktivitas internet
banking, menerapkan prinsip mengenal nasabah/Know Your Customer Principles
(KYC), mengamankan sistem teknologi informasinya dalam rangka kegiatan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan menerapkan transparansi informasi mengenai
Produk Bank dan penggunan Data Pribadi Nasabah.
Lebih lanjut, dalam rangka
memberikan payung hukum yang lebih kuat pada transaksi yang dilakukan melalui
media internet yang lebih dikenal dengan cyber law maka perlu segera dibuat
Undang-Undang mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan
Undang-Undang mengenai Transfer Dana (UU Transfer Dana). Dengan adanya kedua
undang-undang tersebut diharapkan dapat menjadi faktor penting dalam upaya
mencegah dan memberantas cybercrimes termasuk mencegah kejahatan internet
fraud.
Seiring dengan meningkatnya
pemanfaatan Internet Banking, akan semakin banyak pihak-pihak yang mencari
kelemahan sistem Internet Banking yang ada. Serangan-serangan tersebut akan
semakin beragam jenisnya dan tingkat kecanggihannya. Dahulu serangan pada
umumnya bersifat pasif, contoh eavesdropping dan offline password guessing,
kini serangan tersebut menjadi bersifat aktif, dalam arti penyerang tidak lagi
sekedar menunggu hingga user beraksi, tetapi beraksi sendiri tanpa perlu menunggu
user. Beberapa jenis serangan yang dapat dikategorikan ke dalam serangan aktif
adalah man in the middle.
Sumber :
http://dilahfootballers.blogspot.com/2011/03/uu-no-19-tentang-hak-cipta.html
http://fikri-allstar.blogspot.com/2011/11/peraturan-dan-regulasi-uu-no-36_16.html
http://gedemade.blogspot.com/2010/04/peraturan-bank-indonesia-tentang.html